Cerpen itu sebuah cerita, dengan satu tema. Atau bahasa mudahnya, satu tajuk, satu fokus, satu matlamat, atau lebih tepat, satu jenis perisian. Cerpen menghadkan kepada satu sudut pandang (walaupun dalam waktu tertentu mempunyai lebih daripada satu) dan cerita itu berjalan di satu tempat tertentu (walaupun dalam keadaan yang lain, boleh banyak tempat) di satu latar masa sahaja (walaupun dalam keadaan yang lain, boleh berbilang latar masa.)
Kamis, 27 November 2008
Ia Yang Mencintai Hujan
Ia Yang Mencintai Hujan
Cerita bermula di penghujung tahun 1988. Saat itu Ia, seorang bocah laki-laki kecil, masih berumur 10 tahun.
"Dasar anak tidak tahu diri! Kerjanya cuma menyusahkan orang tua," hardik sang ayah tiri. Lalu sang ayah tiri menyeret Ia dengan kasarnya dan menempatkannya di pekarangan depan rumah.
Semburat kelabu mewarnai langit. Berkali-kali langit terbatuk-batuk dan sekali-kali memuntahkan riaknya berupa sinar petir dan kilat.
"Jangan pernah meninggalkan tempat ini!" ucapan sang ayah tiri lebih menyerupai ancaman. "Biar hujan menghapus kenajisan di dirimu. Biar petir dan kilat menghanguskan dosa di tubuhmu. Dasar anak haram!" ucap sang ayah tiri geram. Matanya menyerupai api, menjilat-jilat membakar amarahnya.
Hujan turun dengan malu-malu. Rintiknya menyapa rongga tubuh Ia, seolah meminta ijin untuk memasuki tubuhnya. Hujan turun semakin deras seiring dengan derasnya Ia menangis melihat sang ibu yang mengiba meminta kepada sang suami agar Ia diperbolehkan masuk.
"Aku tidak sudi Ia ada di rumah ini! Biar Ia mampus disambar petir! Biar kilat memanggang hangus tubuhnya." Api kembali membakar amarah ayah tirinya.
"Biarkan aku disini, Bu," desis Ia pelan. Rasanya luar rumah terasa lebih nyaman. Tanpa harus berdekatan dengan ayah tirinya. Ia baru saja dihadiahi warna biru lebam di pipi kanannya. Garis panjang merah bata di sekujur tubuhnya akibat sabetan sabuk kulit dan kuas merah darah di mulut serta pelipisnya. Ayah tirinya baru saja memulai ritual setiap kali menginjakkan kaki di rumah. Dia mengomel, memaki dan mengumpat. Dan setiap kali sang ayah melihat Ia, letupan amarahnya laksana api yang terciprat bensin. Menyambar dan melumat tanpa ampun. Tak terkecuali sore itu.
"Kasihan Ia Pak," iba sang ibu lagi. "Sudah tiga hari Ia tidak masuk sekolah karena sakit. Sekarang kau hukum Ia di tengah cuaca buruk seperti ini. Jangan kau siksa Ia." Sang Ibu hendak mendekati Ia tatkala sebuah pukulan mendarat telak di wajah perempuan itu. Petir dan kilat menyambar seiring dengan teriakan Ia melihat sang ibu jatuh tersungkur.
Suasana gaduh menyelimuti rumah besar nan megah di bilangan Selatan kota Jakarta. Ia melihat sang kakak dan adik tirinya berlari menghampiri sang Ibu.
"Dasar anak haram! Lihat apa yang kamu perbuat kepada ibuku," teriak sang kakak marah.
Amarah sang ayah tercabik kembali melihat anak kesayangannya menguapkan kebencian kepada Ia. Sang ayah dengan tubuh besarnya mendekati Ia yang masih diam terduduk. Ia menatap kosong tatkala dilihatnya sang ayah memegang sabuk kulit di tangan kanannya. Sejurus kemudian Ia pingsan saat sabuk kulit mengiris kulitnya untuk kesekian kali.
"Ia, bangunlah," sebuah suara menghipnotis alam sadarnya. Ia terbangun. Namun tidak dilihatnya seorangpun. Hanya bunyi air hujan yang turun semakin deras yang didengarnya. Tubuhnya terlentang menatap langit. Teronggok tak berdaya.
"Syukurlah kamu sudah terbangun," ujar suara itu lagi. Ia yakin dirinya sudah terbangun. Namun tidak dilihatnya siapapun disekitarnya.
"Aku disini, didekatmu," suara itu kembali terdengar.
"Siapa kau?" tanya Ia bingung. Tubuhnya masih diam, terbujur kaku di pekarangan rumahnya.
"Aku sang hujan. Aku datang karena lelehan air matamu menemuiku. Air matamu memintaku untuk menolongmu."
Ia tidak menjawab. Air matanya semakin deras mengucur. Rasa bahagia menyeruak di hatinya.
"Ada yang ingin menolongku," ucap Ia dalam hati. Ia tidak perduli siapa itu sang hujan. Yang terpenting, ada yang ingin menolongnya. "Mudah-mudahan ini bukan mimpi," ucapnya lagi
.
"Percayalah kepadaku," sang hujan meyakinkannya.
Pelan-pelan dirasakannya rasa sejuk menyelimuti sekujur tubuhnya. Setiap titik hujan bagaikan obat penawar sakit yang membasuh rasa perih dan ngilu lalu membuangnya jauh ke dalam tanah. Sinar kilat dan petir menyambar-nyambar membentuk tarian penyembuh luka. Memberinya napas dan mengangkat tubuhnya yang mampu membuatnya bangkit dan berdiri.
Sejak itulah Ia mencintai hujan. Hujan selalu datang saat air matanya mulai mengalir. Hujan dengan gemuruh dasyatnya selalu menemani disaat hatinya dirundung kesedihan. Hujan menjadi sahabatnya kini.
Suatu malam Ia tersentak kaget ketika sepasang tangan menggerayanginya kasar. Napasnya terasa sesak saat tubuh tinggi besar menindihnya tiba-tiba.
"Pria ini datang lagi," gumam Ia tanpa suara. Ia menangis. Hatinya berontak. Tetapi tubuhnya lunglai tak berdaya. "Jangan perkosa aku lagi!" kata Ia lirih.
"Diam! Atau aku akan membunuhmu," suara itu bak pedang, siap membacok. Suara ayah tirinya! Dia kembali menyakiti jiwanya yang bingung dan terluka.
Hati Ia berkecamuk. Lapat-lapat didengarnya langit batuk dengan petir dan kilat yang bergemuruh. Sesekali petir dan kilat menyambar memekakkan telinga. Jiwa Ia menangis lalu bergulir jatuh di pipinya. Hujan turun dengan lebatnya. Ia menangis semakin keras dan menjerit. Seketika itu pula petir menyambar pohon Mangga yang terletak persis di sebelah kamarnya.
Kejadian itu menyelamatkan Ia. Hujan menjadi dewa penyelamatnya.
Hujan menjadi pelipur lara dan guru sejarah yang menyenangkan. Ia datang dengan membawa sejuta cerita. Di saat Ia dicaci maki oleh ayah tirinya, Ia tidak perduli karena hujan datang membawa cerita mengenai indahnya bunga Sakura di Jepang. Hujan mengiringi langkahnya sambil menceritakan keajaiban candi Borobodur sewaktu teman sekelasnya mengejeknya dengan panggilan anak haram.
"Bawalah aku pergi," pinta Ia suatu ketika. "Aku ingin tahu dimana negeri-negeri yang kamu pernah ceritakan. Apa itu tembok besar di Cina? Seperti apa bunga Sakura di Jepang? Aku ingin melihat Borobudur. Hujan, bawalah aku pergi."
Hujan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum lalu berlalu pergi.
Ia membenci musim kemarau. Kemarau membuatnya seperti hewan buruan. Dikejar beramai-ramai. Ditangkap dan diseret penuh luka. Tidak ada lagi yang menemaninya berbicara di kala sepi. Tidak ada yang melindunginya di saat ayah tirinya memperkosanya di malam buta. Tidak ada yang perduli kala teman-teman sekelasnya mengejek dirinya.
"Hujan, aku rindu dirimu," Ia berucap tatkala hujan mengetuk jendela kamarnya.
"Aku juga rindu," kata hujan sedih. Hujan mendapati Ia terpuruk di sudut kamarnya. Ia memandangnya dengan sorot mata sendu dan kosong. Hujan memekik lirih melihat Ia tak ubahnya seperti mayat hidup.
Hujan meratapi nasib Ia. Hujan menggeliat ngeri merasakan kepahitan yang Ia alami. Lalu hujan mengubah sakit Ia menjadi musibah banjir di Bangladesh. Hujan menjadikan luka Ia menjadi hujan badai di benua Amerika. Rasa perih Ia telah memporak porandakan banyak tempat di belahan bumi. Ia tidak perduli. Ia tidak sedih. Tidak seorangpun perduli dan sedih saat Ia berjuang sendiri bertahan hidup.
"Bawalah aku pergi bersamamu. Aku tenang di bening tubuhmu. Aku damai di indah rintik suaramu. Jangan biarkan aku kering layu bila kemarau menggantikanmu."
"Baiklah," jawab hujan lembut. Kali ini hujan tidak berlalu pergi. Suara petir dan kilat menggelegar bersahut-sahutan seakan menyetujui keinginan Ia.
Rintik hujan menghiasi bumi seminggu lamanya. Pesona langit diruntuhkan gelapnya awan hitam. Suasana ramai nampak di sebuah perumahan elit Jakarta. Suara orang memanjatkan doa terdengar di setiap sudut ruangan. Seorang wanita menangis tersedu-sedu meratapi sesosok tubuh yang terbaring diam di tengah ruang tamu.
"Ia tersambar petir kemarin sore," bisik seorang pria.
"Anehnya tidak ada tanda-tanda hangus di sekujur tubuhnya," bisik pria yang lain. "Tubuhnya bersih bak embun pagi. Bahkan kesejukan terasa di tempat dimana Ia dibaringkan. Sepertinya alam sengaja mengambilnya."
Ia tersenyum bahagia. Ia telah bersatu bersama sahabatnya. Ia sudah membayangkan perjalanan mengasyikkan mengelilingi setiap celah di seluruh penjuru planet biru. Ia dan hujan saling bertatapan. Mereka tertawa dan menari di kumpulan awan hitam dan silaunya kilauan petir dan kilat. Gerakan mereka terhenti tatkala bayangan pria berkelebat hendak meninggalkan rumah itu. Pria itu adalah ayah tirinya.
Blarr!! Petir menghujam tanah, tidak berapa jauh dari tempat dimana pria itu berdiri. Pria itu terpental hingga ke teras depan rumah. Jeritan orang-orang yang kaget tersapu oleh hadirnya hujan yang turun teramat deras secara tiba-tiba.
Satu hari sebelum hujan membawa Ia pergi, ayah tirinya kembali memulai ritualnya. Mengomel, memaki dan mengumpat.
Saat itu hujan membasahi bumi. Ia sengaja berlari ke pekarangan tatkala sang ayah mengejar dengan menghunus sabuk kulitnya. Kali ini Ia tidak takut. Kali ini sebuah senyuman menyeringai di bibirnya. Pandangan matanya beku membentuk es abadi.
Sang ayah tiri bergidik takut melihat Ia.
Duar!! Petir bagaikan bom waktu yang meledak disekitar tubuh sang ayah. Sang ayah hendak pergi berlari namun rintik hujan telah mengurungnya seperti seorang narapidana terpenjara di bui.
Ia melangkah mendekati sang ayah. "Selama musim hujan masih mengguyur semesta, satu jengkal langkah saja dari bilik rumah ini kau tinggalkan, aku pastikan petir dan kilat akan menghancurkan tubuhmu!" janji Ia sambil mengacungkan jari telunjuknya ke udara.
Suara petir dan kilat laksana gendang yang ditabuh. Bertalu-talu mengiyakan ucapan Ia. Mengamini keinginan Ia. Detik itulah hujan membawa Ia pergi.
Sang ayah kembali bergidik ngeri. Sekujur tubuhnya merah seakan terbakar. Baju dan celana sobek compang-camping. Bau hangus tercium di rongga hidungnya.
Saat itu bulan Juli 1999. Itulah janji, dari seorang bocah laki-laki kecil, bernama Ia. Janji Ia yang mencintai hujan
Diposting oleh Angelliebe di 04.33 0 komentar
Sabtu, 15 November 2008
My Dream
''PELANGI''
Sahabat bagai Pelangi Kehidupan yang muncul sehabis datangnya hujan...
mewarnai hidup dan membuat hidup menjadi lebih indah. susah senang menjadi makanan sehari-hari. kadang pula suatu perbedaan sekecil apapun bisa menjadi suatu permasalahan. tetapi itulah sahabat, kita harus bisa menerima semua apa adanya...
dan berbedaan itulah yang bisa menjadi pelangi dengan berbagai warna yang indah.
Diposting oleh Angelliebe di 21.15 0 komentar
Selasa, 11 November 2008
Good New's
''Menjajakkan kaki di Tanah Suci''
kurang lebih satu bulan lamanya Bapak Kepala Sekolah SMPN 2 BJN Bpk. Bambang Sutedjo menanggalkan segala aktifitasnya sebagai kepala sekolah SMP2 BJN. Beliau bersama Istri tercinta mendapat kesempatan untuk menunaikan Rukun Islam yang ke-5. tepatnya pada tanggal 4 november 20008 beliau terbang ke tanah Sici Mekah.
>> kami keluarga besar SMP 2BJN mengucapkan selamat semoga bisa menjadi Haji yang makmur
Diposting oleh Angelliebe di 04.43 0 komentar
Good New's
''PRESTASI GA PERLU DIRAGUKAN''
Mr. Rasmadi The Best Teacher
Karna membiasakan disiplin Beliau adalah guru yang sangat bijaksana untuk menjalankan tugas sebagai guru di SMP 2 BJN. berbagai prestasi telah digenggam beliau salah satunya juara I KIR tingkat kabupaten.
Selamat untuk Bpk Rasmadi semoga bisa dan harus berprestasi.....
Diposting oleh Angelliebe di 04.33 0 komentar
Minggu, 02 November 2008
Diposting oleh Angelliebe di 01.08 1 komentar
Sabtu, 25 Oktober 2008
KATAKAN ''OK'' UNTUK HIDUP LEBIH BAIK
Siapa sich yang pengen hidup berantakan... ga da salahnya donk berkorban bwt hidup toh juga kita yang merasakan... tapi di zaman serba ''GAUL'' ni sering kita menampakkan kaki di jalan yang salah, tetapi anehnya manusia tetap kukuh dalam pendirian yang salah..''ANAK MUDA..'' yach itulah yang sering terlontar dalam mulut labil kita. Ga sedikit koq yang sudah terjerumus dalam dunia GELAP dan mereka juga yang merasakan imbasnya ''APA YANG KITA TABUR ITULAH YANG AKAN KITA TUAI'' itulah kata pribahasa.Walaupun kita tau ga da manusia yang sempurna tetapi setidaknya juga kita berusaha untuk menjadi lebih baik dari sekarang. aku juga sadar sich... aku ga' sempurna dan ga luput dari dosa, tapi itulah hidup. Hidup ga' bakal berarti kalo kita ga berusaha!?!?Untuk berubah..!!! gaperlu muluk-muluk kq berawallah dari hal terkecil di setiap harinya... contohnya coba dech dari sekarang kita biasakan murah senyum bwt smua orang ga kecuali juga musuh kita. karna menurutku jika kepahitan di balas dengan kepahitan juga, pasti masalah itu ga akan selesai dan terus berkepanjangan. Mengalah itu bukan berarti kalah, karna orang yang mengalah itu lebih berhati mulia dari pada memenangkan suatu perkara. Tentu hal ini bersyarat karana jangan pernah kita mengalah kpd oknum yang merugikan, krn kita juga tidak boleh diperbudak oleh kejahatan.
Diposting oleh Angelliebe di 00.16 1 komentar